Mengenang Operasi Seroja 7 Desember 1975


JAKARTA, – Pena sejarah nasional pernah menorehkan kisah heroik prajurit kita yang bertarung di medan laga, dengan sandi Operasi Seroja yang berlangsung 7 Desember 1975 hingga 17 Juli 1976.

Salah satu pelaku sejarah, AM Hendropriyono saat itu menjabat Komandan Manggala XIII dengan pangkat Kapten, pada tahun 2013 pernah menuliskan kenangannya sebagai berikut:

Tujuh Desember 38 Tahun Lalu

Hari ini pada 1975 adalah peringatan the “D” kita menyerbu Timor Timur, dengan meningkarnya dari udara (terimakasih alm Sudiyono) dan melambungnya dari darat (terimakasih alm Ella Bajuri). Serangan frontal dari laut kemudian kita menjejakkan kaki di bumi Lorosae, setelah berloncatan keluar dari panser amphibi (terimakasih alm Solang).

Hari ini kalian kukenang dengan bangga dan gundah. Bangga terhadap kalian dan gundah karena nasib bangsa kita. Bangga terhadap pengorbanan kalian dan gundah karena pengkhianatan mereka.

Jangan menangis ibu pertiwi.

(AM Hendropriyono, 07 Desember 2013 Sat 07:11 am)

Revolusi Bunga

Kehadiran militer Indonesia di bumi Lorosae adalah untuk menghentikan perang saudara antara faksi politik yang ada di sana, sekaligus untuk mengupayakan damai dan menghalau konflik. Cepat atau lambat, suasana konflik yang terjadi di bumi Lorosae akan berdampak terhadap kawasan di sekitarnya.

Sejak abad ke-16, bumi lorosae adalah koloni Portugal. Pada April 1974, terjadi Carnation Revolution di Portugal. Carnation Revolution atau Revolusi Bunga berlangsung damai. Rakyat Portugal dan Militer di sana bahu-membahu secara damai membebaskan rakyat dari kungkungan rezim diktator-otoriter sipil menuju tatanan kehidupan berdemokrasi yang diidamkan.

Timor Leste adalah salah satu koloni Portugal yang dipimpin pejabat setingkat Gubernur. Mário Lemos Pires (1930-2009) merupakan Gubernur terakhir di bumi Lorosae, yang menjabat sejak 14 November 1974. Resonansi revolusi damai di Portugal, justru membuat masyarakat Timor Leste terbelah. Ada yang ingin bersatu kembali dengan saudara kandungnya di bagian barat Pulau Timor (Indonesia), namun ada yang lebih memilih mendirikan Republik Demokratik sendiri.

FRETILIN (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente), sesuai namanya memang berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur. Pada tanggal 28 November 1975, FRETILIN mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste, setelah sebelumnya menurunkan bendera Portugal dari pelosok bumi Lorosae.




Sementara itu, rakyat Timor Leste yang cenderung bergabung dengan NKRI pada 30 November 1975 mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia. Kelompok pro integrasi ini meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Marxis-Komunis. Kelompok pro integrasi ini mengibarkan bendera MERAH PUTIH di bumi Lorosae sebagai bukti keseriusan mereka berintegrasi dengan Indonesia.

Berubah Haluan

Tidak hanya Indonesia yang khawatir Timor Leste akan jadi basis komunis, juga Amerika Serikat dan Australia. Dengan alasan itulah negara Barat pada umumnya mendukung upaya pengintegrasian Timor Leste ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang ber-Pancasila, dan telah teruji mampu mengatasi komunisme di bumi Indonesia.

Sikap politik Barat dua dasawarsa kemudian berubah haluan, sebagaimana tercermin dalam sikap resmi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). PBB tidak setuju Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, oleh karena itu perlu referendum. Melalui referendum 30 Agustus 1999, mayoritas penduduk Timor Timur memilih berdiri sendiri dan tidak menjadi bagian dari Indonesia. Secara resmi, pada 20 Mei 2002 Timor Leste diakui sebagai negara merdeka, Republica Democratico de Timor Leste.

Menurut Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono, “Proses pengintegrasian Timor Timur ke dalam pelukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan kebijakan politik negara yang harus dipatuhi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia. Begitu juga sebaliknya, ketika Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kebijakan politik negara, yang harus dipatuhi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia meski dengan berat hati.”

Sampai saat ini Hendropriyono dan kawan-kawan tetap menjalin hubungan baik dengan Xanana dan kawan-kawan, yang dulu pernah saling bermusuhan. “Marilah kita kini bergandengan tangan meniti jalan menuju keamanan dan kesejahteraan, menghadapi bahaya dan kemiskinan yang terbentang di hadapan kita masing-masing.” Demikian Hendropriyono.

0 Response to "Mengenang Operasi Seroja 7 Desember 1975"

Post a Comment